Menjelaskan fungsi agama dalam masyarakat
Agama merupakan salah satu prinsip yang (harus)
dimiliki oleh setiap manusia untuk mempercayai Tuhan dalam kehidupan mereka.
Tidak hanya itu, secara individu agama bisa digunakan untuk menuntun kehidupan
manusia dalam mengarungi kehidupannya sehari-hari. Namun, kalau dilihat dari
secara kelompok atau masyarakat, bagaimana kita memahami agama tersebut dalam
kehidupan masyarakat?.
Prof. Dr. H. Jalaluddin dalam bukunya Psikologi
Agama membantu kita memahami beberapa fungsi agama dalam masyarakat, antara
lain:
Fungsi Edukatif (Pendidikan). Ajaran
agama secara yuridis (hukum) berfungsi menyuruh/mengajak dan melarang
yang harus dipatuhi agar pribagi penganutnya menjadi baik dan benar, dan
terbiasa dengan yang baik dan yang benar menurut ajaran agama masing-masing.
Fungsi Penyelamat. Dimanapun manusia
berada, dia selalu menginginkan dirinya selamat. Keselamatan yang diberikan
oleh agama meliputi kehidupan dunia dan akhirat. Charles Kimball dalam bukunya Kala
Agama Menjadi Bencana melontarkan kritik tajam terhadap agama monoteisme
(ajaran menganut Tuhan satu). Menurutnya, sekarang ini agama tidak lagi berhak
bertanya: Apakah umat di luat agamaku diselamatkan atau tidak? Apalagi bertanya
bagaimana mereka bisa diselamatkan? Teologi (agama) harus meninggalkan perspektif
(pandangan) sempit tersebut. Teologi mesti terbuka bahwa Tuhan mempunyai
rencana keselamatan umat manusia yang menyeluruh. Rencana itu tidak pernah
terbuka dan mungkin agamaku tidak cukup menyelami secara sendirian. Bisa jadi
agama-agama lain mempunyai pengertian dan sumbangan untuk menyelami rencana
keselamatan Tuhan tersebut. Dari sinilah, dialog antar agama bisa dimulai
dengan terbuka dan jujur serta setara.
Fungsi Perdamaian. Melalui tuntunan
agama seorang/sekelompok orang yang bersalah atau berdosa mencapai kedamaian
batin dan perdamaian dengan diri sendiri, sesama, semesta dan Alloh. Tentu
dia/mereka harus bertaubat dan mengubah cara hidup.
Fungsi Kontrol Sosial. Ajaran agama
membentuk penganutnya makin peka terhadap masalah-masalah sosial seperti,
kemaksiatan, kemiskinan, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Kepekaan ini
juga mendorong untuk tidak bisa berdiam diri menyaksikan kebatilan yang
merasuki sistem kehidupan yang ada.
Fungsi Pemupuk Rasa
Solidaritas. Bila fungsi ini dibangun secara serius dan tulus, maka persaudaraan yang
kokoh akan berdiri tegak menjadi pilar "Civil Society"
(kehidupan masyarakat) yang memukau.
Fungsi Pembaharuan. Ajaran agama dapat
mengubah kehidupan pribadi seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru.
Dengan fungsi ini seharusnya agama terus-menerus menjadi agen perubahan
basis-basis nilai dan moral bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Fungsi Kreatif. Fungsi ini menopang
dan mendorong fungsi pembaharuan untuk mengajak umat beragama bekerja produktif
dan inovatif bukan hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.
Fungsi Sublimatif (bersifat perubahan
emosi). Ajaran agama mensucikan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agamawi,
melainkan juga bersifat duniawi. Usaha manusia selama tidak bertentangan dengan
norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus, karena untuk Alloh, itu
adalah ibadah.
Dimensi Komitmen Agama menurut Roland Robertson (1984)
Dimensi keyakinan: mengandug perkiraan atau harapan bahwa orang yang
religius akanmenganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti
kebenaran ajaran-ajarantertentu.
Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti , yaitu
perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secra nyata. Ini menyangkut hal
yang berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal,
perbuatanmulia, berbakti tidak bersifat formal, tidak bersifat publik dan
relatif spontan.
Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta , bahwa semua agama mempunyai
perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan
mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi,
mampu berhubungandengan suatu perantara yang supernatural meskipun dalam waktu
yang singkat.
Dimensi pengetahuan dikaitkan, dengan perkiraan bahwa orang-orang yang
bersikapreligius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan
dan upacarakeagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
Dimensi konsekuensi dari komitmen religious, berbeda dengan tingkah laku
perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.
3 Tipe kaitan agama dengan masyarakat :
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak
menggambarkan sebenarnya secara utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954), yaitu:
Masyarakat yang terbelakang dan nilai- nilai sacral. Masyarakat tipe ini
kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama yang
sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat, dalam kelompok
keagamaan adalah sama.
Masyarakat- masyarakat pra- industri yang sedang berkembang. Keadaan
masyarakat tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi
daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai
dalam tipe masyarakat ini. Dan fase kehidupan sosial diisi dengan upacara-
upacara tertentu.
Masyarakat- masyarakat industri secular. Masyarakat industri bercirikan
dinamika dan teknologi semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan,
sebagian besar penyesuaian- penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang
penting adalah penyesuaian- penyesuaian dalam hubungan kemanusiaan sendiri.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai konsekuensi penting bagi
agama, Salah satu akibatnya adalah anggota masyarakat semakin terbiasa
menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi
masalah kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas.
Watak masyarakat sekular menurut Roland Robertson (1984), tidak terlalu
memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya pemikiran agama, praktek
agama, dan kebiasaan- kebiasaan agama peranannya sedikit.
Pelembagaan Agama:
Pelembagaan agama adalah suatu tempat atau lembaga untuk membimbing,
membina dan mengayomi suatu kaum yang menganut agama.Agama begitu univeersal ,
permanan (langgeng) , dan mengatur dalam kehidupan sehingga bila tidak memahami
agama , akan sukar memahami masyarakat. Hal yang perlu dijawab dalam memahami
lembaga agama adalah , apa dan mengapa agama ada , unsur-unsur dan bentuknya
serta fungsi dan struktur agama. Contohnya adalah MUI. MUI berdiri sebagai
hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang
datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam
orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang
ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU,
Muhammadiyah , Syarikat Islam , Perti. Al Washliyah, Math'laul Anwar , GUPPI ,
PTDI , DMI dan Al Ittihadiyyah , 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam,
Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang
tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut,
dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat
bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam
sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta
musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Sejarah mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa.
Pemaksaan terjadi melalui “perselingkuhan” antara lembaga agama dengan lembaga
kekuasaan. Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh ketentraman
sedangkan lembaga agama membutuhkan penganut atau pengikut. Kerjasama (atau
lebih tepat disebut saling memanfaatkan) itu terjadi sejak dahulu kala. Para
penyiar agama sering membonceng pada suatu kekuasaan (kebetulan menjadi
penganut agama tersebut) yang mengadakan invansi ke daerah lain. Penduduk
daerah atau negara yang baru ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak suka)
menjadi penganut agama penguasa baru.
Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika pada
umumnya tetapi juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai
diperkenalkan. Di Indonesia “tradisi” saling memanfaatkan berlanjut pada zaman
orde Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di luar lima agama
resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar lima agama resmi, termasuk
penganut agama suku, terpaksa memilih salah satu dari lima agama resmi versi
pemerintah.
Namun ternyata masalah belum selesai. Kenyataannya banyak orang yang
menjadi penganut suatu agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan
demikian terhadap kehidupan keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut
yang formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan
ajaran agam suku, yang dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan
agama monoteis, umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan prak keagamaan
demikian. Lagi pula pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran.
Berbagai cara telah dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya
pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif.
Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi
kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desa - desa.
Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku pariwisata,
maka upacarav-upacara adat yang notabene adalah upacara agama suku mulai
dihidupkan di daerah-daerah. Upacara-upacara agama sukuyang selama ini ditekan
dan dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan yang mendapat
siraman air dan pupuk yang segar.
Anehnya sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di kampung yang
menyambut angin segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang yang lama
tinggal di kotapun menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan di kota-kotapun
sering ditemukan praktek hidup yang sebenarnya berakar dalam agama suku.
Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari baik untuk
melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin menarik sebab mereka itu pada
umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik” dari salah satu agama monoteis bahkan
pejabat atau pimpinan agama.
Agama sangat universal, permanen, dan mengatur dalam kehidupan, sehingga
bila tidak memahami agama, maka akan sulit memahami masyarakat. Hal yang harus
diketahui dalam memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada,
unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur dari agama.
Menurut Elizabeth K. Nottingham (1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat
mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan keseluruhannya secara
utuh.
Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota
masyarakatnya menganut agama yang sama. Sebab itu, keanggotaan mereka dalam
masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam
kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya:
Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem masyarakat secara
mutlak.
Nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan
dalam masyarakat dan agama menjadi fokus utama pengintegrasian dan persatuan
masyarakat secra keseluruhan yang berasal dari keluarga yang belum berkembang.
Mayarakat-masyarakat Praindustri yang Sedang Berkembang
Masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi. Agama memberi
arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat, pada saat yang sama,
lingkungan yang sakral dan yang sekular masih dapat dibedakan. Fase kehidupan
sosial diisi dengan upacara-upacara tertentu. Di pihak lain, agama tidak
memberikan dukungan sempurna terhadap aktivitas sehari-hari, agama hanya
memberikan dukungan terhadap adat-istiadat.
Pendekatan rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan
mengacu dan berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya ekonomis dan teknologis
dan tentu akan kurang baik. Karena adlam tingkah laku, tentu unsur rasional
akan lebih banyak, dan bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur
pengetahuan di luar jangkauan manusia (transdental), seperangkat symbol dan
keyakinan yang kuat, dan hal ini adalah keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah
laku agama yang sifatnya tidak rasional memberikan manfaat bagi kehidupan
manusia.
Agama melalui wahyu atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia
untuk memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di dunia dan akhirat. Dalam
perjuangannya, tentu tidak boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut, perlu
jaminan yang memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam
sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu
aspek kehiduapan semua kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar mulai
dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa
hal penting bersifat keagamaan.Adanya organisasi keagamaan, akan meningkatkan
pembagian kerja dan spesifikasi fungsi,juga memberikan kesempatan untuk
memuaskankebutuhan ekspresif dan adatif.
Pengalaman tokoh agama yang merupakan pengalaman kharismatik, akan
melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan yang akan menjadi organisasi
keagamaan terlembaga. Pengunduran diri atau kematian figure kharismatik akan
melahirkan krisis kesinambungan. Analisis yang perlu adalah mencoba memasukkan
struktur dan pengalaman agama, sebab pengalaman agama, apabila dibicarakan,
akan terbatas pada orang yang mengalaminya. Hal yang penting untuk dipelajari adalah
memahami “wahyu” atau kitab suci, sebab lembaga keagamaan itu sendiri merupakan
refleksi dari pengalaman ajaran wahyunya. Lembaga keagamaan pada puncaknya
berupa peribadatan, pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula
sebagai asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan
munculnya organisasi keagamaan.
Lembaga ibadah haji dimulai dari terlibatnya berbagai peristiwa. Ada
nama-nama penting seperti Adam a.s, Ibrahim a.s, Siti Hajar, dan juga syetan;
tempatnya adalah Masjidil-Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar, Mina, serta Ka’bah
yang merupakan symbol penting; ada peristiwa kurban, pakaian ihram, tawaf,
sa’I, dan sebagainya.
Organisasi keagamaan yang tumbuh secara khusus, bermula dari pengalaman
agama tokoh kharismatik pendiri organisasi keagamaan yang terlembaga.
Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji
Ahmad Dahlan yang menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar.
Ayat suci Al-Quran telah memberi inspirasi kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan
Muhammadiyah. Salah satu mottonya adalah, Muhammadiyah diapandang sebagai
“segolongan dari kaum” mengajak pada kebaikan dan mencegah perbuatan jahat
(amar ma’ruf, nahi ’anil munkar)
Dari contoh sosial di atas, lembaga keagamaan berkembang sebagai pola
ibadah, pola ide-ide, ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi
atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual,
tingkat pemujaan (ibadat), dan tingkat organisasi. Tampilnya organisasi agama
adalah akibat adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangi
perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi,
pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan
agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.
Contoh dan kaitannya tentang konflik yang ada
dalam agama dan masyarakat:
Contoh-contoh dan kaitannya tentang konflik yang ada dalam agama dan
masyarakat didalam masyarakat terdapat perbedaan agama yang dianut dari
masing-masing individu namun diantara mereka tidak saling menghargai dalam
perbedaan agama tersebut , dan akan timbul permasalahan seperti:
Konflik perbedaan pendapat
tentang agama.
Perpecahan.
Peperangan antar agama.
Pelecehan Agama.
dll.
Refrensi :