Rabu, 19 Juni 2013

TAWURAN ANTAR PELAJAR

TAWURAN ANTAR PELAJAR


TAWURAN ANTAR PELAJAR
Tawuran pelajar saat ini sudah menjadi momok bagi masyarakat. Prilaku tawuran pelajar bukan hanya mengakibatkan kerugian harta benda atau korban cedera tapi sudah merenggut ratusan nyawa melayang sia-sia selama sepuluh tahun terakhir.
Beberapa tahun lalu beberapa siswa dari sebuah sekolah swasta ditangkap polisi karena membacok siswa SMK 5 Semarang. Mereka terancam dikeluarkan dari sekolah dan dihukum penjara. Wali Kota Sukawi Sutarip mendukung bila sekolah mengeluarkan siswa yang terlibat tawuran. Bahkan ia mengatakan, semua sekolah di Semarang tidak boleh menerima siswa itu lagi. Akankah tindakan represif semacam itu akan menyelesaikan masalah?
Maraknya tawuran pelajar dipicu oleh banyak faktor. Pada tingkat mikro, rendahnya kualitas pribadi dan sosial siswa mendorong mereka berprilaku yang tidak pronorma. Pada tingkat messo, buruknya kualitas dan manajemen pendidikan mendorong rasa frustasi anak yang dilampiaskan pada tindakan negatif, termasuk tawuran. Di tingkat makro, persoalan pengangguran, kemiskinan, dan kesulitan hidup memberi sumbangan tinggi bagi terbentuknya masyarakat (termasuk siswa) yang merasa kehilangan harapan untuk hidup layak. Pembahasan pada artikel ini dibatasi pada bidang pendidikan.
Sekolah sebagai “Pembunuh” Siswa
Beragam “prestasi buruk” selama ini menghadapkan pendidikan pada pertanyaan mendasar tetapi sangat fundamental: sejauhmana efektivitas pendidikan bagi peningkatan kualitas siswa. Pertanyaan mendasar tersebut layak dikedepankan mengingat sumbangsih pendidikan bagi masyarakat belum terlihat secara kasat mata. Padahal “investasi” yang diserap dunia pendidikan sangat besar. Pendidikan belum berhasil menjadi solusi bagi kesejahteraan hidup manusia, tetapi sebaliknya: menciptakan masalah bagi masyarakat.
Salah satu masalah yang dihadapi pendidikan adalah kurikulum yang dianggap terlalu berat dan membebani siswa. Kuatnya campur tangan pemerintah dalam dunia pendidikan ditengarai pada dominannya pemerintah dalam penyusunan kurikulum. Di samping itu, banyak pihak yang ingin memasukan “kepentingannya” dalam kurikulum pendidikan. Departemen Koperasi ingin ada pelajaran tentang koperasi, pengusaha industri ingin ada pelajaran teknis kerja, serikat buruh ingin ada pelajaran tentang buruh. Akibatnya batok kepala siswa menjadi “keranjang sampah” bagi beragam kepentingan.
Banyaknya bidang kajian menjadikan substansi pengetahuan menjadi sedikit, tetapi terlalu montok. Akhirnya kita lupa, bahwa apa yang dipelajari siswa “tidak bermanfaat”. Sudah sumpeg, metode pembelajarannya pun represif. Modus pembelajaran yang monolog oleh guru terasa benar miskin makna. Yang dimaksud cerdas oleh guru adalah besarnya daya ingat siswa terhadap segudang informasi, seperti halnya ketangkasan cerdas cermat.
Pendidikan juga terlalu science minded. Ada siswa SMU yang setiap minggunya harus belajar matematika 10 jam dan fisika masing-masing 10 jam pelajaran. Seolah-olah matematika dan fisika merupakan satu-satunya jawaban dari persoalan hidup manusia. Jarang sekali ada sekolah yang mengembangkan pembelajaran sesuai potensi, minat, dan bakat siswa seperti olah raga atau musik, misalnya.
Akibat kurikulum yang terlalu berat menjadikan sekolah sebagai “stressor baru” sebagai siswa. Disebut “baru” karena siswa sebenarnya sudah sangat tertekan akibat berbagai persoalan keluarga dan masyarakat (termasuk pengangguran dan kemiskinan). Akibatnya, siswa ke sekolah tidak enjoy tetapi malah stress. Siswa tidak menganggap sekolah sebagai aktivitas yang menyenangkan tetapi sebaliknya: membebani atau bahkan menakutkan. Akibatnya, siswa lebih senang keluyuran dan kongkow-kongkow di jalan-jalan daripada mengikuti pelajaran di sekolah. Ada joke yang akrab di masyarakat, sekolah sudah menjadi “pembunuh nomor satu” di atas penyakit jantung.
Siswa bukan hanya terbunuh secara fisik karena tawuran, tetapi juga terbunuh bakat dan potensinya. Banyak talenta siswa yang semestinya bisa dikembangkan dalam bidang olahraga, seni, bahasa, atau jurnalistik, hilang sia-sia akibat “mabuk” belajar fisika dan matematika.
Seorang kawan secara berkelakar mengatakan lebih enak bekerja daripada sekolah. Orang bekerja mulai pukul 9 sampai 4 sore (7 jam), selama 5 hari perminggu. Sedangkan siswa masuk sekolah pukul 7 sampai 13.30 (6,5 jam), hampir sama dengan orang bekerja. Tetapi ingat malam hari siswa harus belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah, serta masuk 6 hari perminggu.
Bagaimana mengatasi kurikulum dianggap overload ini? Karena sudah “terlanjur”, pendidikan harus berani meredefinisi semua programnya. Tetapi, sanggupkah para penentu kebijakan melakukan perombakan? Itulah masalahnya. Banyak pengelola pendidikan bermental “priyayi”. Mereka lebih memikirkan kenaikan pangkatnya daripada peningkatan kualitas pendidikan. Budaya “cari muka” dan “minta petunjuk” membuat mereka tidak berani melakukan perubahan. Sebab, mereka tidak mau mempertaruhkan kenaikan pangkatnya. Lebih baik “adem ayem” kenaikan pangkat lancar daripada “kritis” tetapi terancam.
Sekolah yang Menyenangkan
Saat ini mulai berkembang paradigma baru tentang “pendidikan yang menyenangkanE2��, seperti model quantum learning. Dalam quantum learning pelajaran sekolah tidak menjadi beban bagi siswa. Pendidikan disesuaikan dengan ranah berpikir siswa. Jadi bukannya siswa yang “dipaksa” mengikuti pelajaran sesuai kemauan guru, termasuk dalam hal penilaian benar-salah. Guru yang harus “masuk” ke dalam ranah berpikir siswa, menyelami apa pemikiran, kehendak, dan jiwa siswa. Dalam quantum learning, guru tidak bisa dengan otoriter memaksakan pendapatnya paling benar. Tetapi siswa dilibatkan untuk mengkaji kebenaran nilai-nilai itu dan perbedaan pendapat tidak dilarang. Selama ini kan tidak. Aturan yang dibuat sekolah bernilai mutlak. Siswa tidak punya kewajiban lain selain patuh. Kalau tidak patuh maka dianggap “melanggar peraturan” sehingga wajib diberi sanksi. Tidak ada hak bagi siswa untuk mengemukakan pendapat bahwa setiap aturan mesti tergantung pada konteksnya, termasuk konteks pemikiran siswa. Akibatnya, siswa patuh karena “pura-pura”.
Selain quantum learning, dipelopori David Golemen, para pemerhati pendidikan di Barat mulai menyadari bahwa kecerdasan emosional (EQ) tidak kalah penting dibanding kecerdasan intelektual (IQ). Bahkan menurut penelitian David Goleman, siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, setelah dewasa justru lebih banyak yang “berhasil” dibanding siswa yang memiliki IQ tinggi. Paradigma baru ini hendaknya juga mulai diadopsi di Indonesia.
Kecerdasan emosional siswa meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri dan melakukan hubungan sosial dengan manusia lain. Beberapa tolok ukurnya adalah: memiliki pengendalian diri, bisa menjalin relasi, memiliki sifat kepemimpinan, bisa melobi, dan bisa mempengaruhi manusia lain.
Siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi memiliki “beragam alternatif bahasa” untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan manusia lain, termasuk dengan seseorang yang “dianggap musuh”. Sebaliknya, siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah hanya memiliki satu bahasa: takut atau justru sebaliknya, tawur. Mereka juga tidak bisa “membedakan” musuh. Tolok ukur seseorang dianggap “kawan” atau “musuh” adalah seragamnya. Siapapun dia, asalnya darimana, kalau memakai seragam sekolah “lawan” harus dimusuhi.
Seragam sekolah menjadi sumber masalah. Meski tujuannya baik yakni untuk melatih kedisplinan, tetapi juga membawa dampak negatif. Seragam sekolah menumbuhkan identitas kelompok yang memicu tawuran. Lagipula, penyeragaman seragam sekolah juga tidak bermanfaat. Malahan, rok siswi yang kadang terlalu mini juga mengundang masalah sendiri bagi siswa laki-laki.Sebaiknya siswa tidak diwajibkan mengenakan seragam.
Itulah beberapa tawaran untuk mengurangi tawuran pelajar. Kalau usaha tersebut telah diikhtiarkan tetapi tawuran pelajar makin menggejala, artinya kita perlu berikhtiar lebih keras lagi. Justru itulah makna hakikat pendidikan: terus berusaha dan tak kenal menyerah.

SUMBER : http://mohkusnarto.wordpress.com/tawuran-antar-pelajar/

Budaya Merokok: Sebuah Ironi

Budaya Merokok: Sebuah Ironi

Catatan:
Tulisan ini muncul karena:
  • Keprihatinan penulis melihat semakin banyaknya perokok di lingkungan penulis. Khususnya, pertumbuhan jumlah perokok kaum hawa yang sangat pesat dan mengkhawatirkan.
  • Kekecewaan penulis ketika mengetahui bahwa seorang tokoh yang dikagumi penulis di fakultasnya ternyata adalah seorang perokok.
  • Suara hati penulis, yang mengasihani orang yang merokok, tetapi membenci perilaku mereka.
Saat ini, merokok seakan telah menjadi sebuah budaya bangsa ini. Bagaimana tidak, saat ini rokok sudah menjadi milik semua kalangan, baik orang tua maupun anak-anak, baik pria maupun wanita, baik orang kaya maupun orang miskin, baik bos maupun kuli…
Indonesia adalah negara penyumbang asap rokok terbesar di Asia Tenggara. Ini bukanlah sesuatu hal yang main-main. Ini adalah suatu hal yang perlu kita sikapi secara serius. Pada tulisan saya saat ini, saya akan memberikan pandangan saya mengenai budaya merokok, yang menurut saya, adalah sebuah ironi yang sangat menyedihkan.
Racun yang menjadi “kebutuhan pokok”
Tidak dapat disangkal lagi, rokok adalah racun. Sekecil apapun kadar nikotin yang terkandung di dalam sebatang rokok, itu tetaplah racun yang merusak tubuh penghisapnya. Ironisnya, sekarang tidak sedikit orang yang menjadikan racun tersebut sebagai “kebutuhan pokok” mereka. Dulu, kita mengenal kebutuhan pokok manusia adalah sandang, pangan, dan papan. Sekarang, para perokok menambahkan daftar kebutuhan pokok mereka dengan sesuatu yang seharusnya bukanlah kebutuhan pokok, sesuatu yang pada hakikatnya adalah racun, yaitu rokok!
Merusak di saat yang lain bersusah payah mengobati
Karena rokok pada hakikatnya adalah racun, maka pastilah rokok akan merusak tubuh manusia, cepat atau lambat. Dengan merokok, mereka sedang menumpuk racun di dalam tubuh mereka yang akan merusak tubuh mereka. Sungguh ironis, mereka merusak paru-paru mereka di saat banyak orang yang berjuang mengobati paru-parunya. Mereka merusak jantung mereka di saat banyak orang yang rela menggunakan alat pacu jantung untuk menopang kehidupannya. Merusak memang jauh lebih mudah daripada mengobati. Pada saatnya nanti, para perokok akan mengerti betapa sulitnya pengobatan itu, dan betapa mahalnya harga kesehatan yang telah mereka sia-siakan.
Seorang merdeka yang terkekang
Indonesia telah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Bangsa Indonesia telah merasakan betapa tidak enaknya penjajahan itu. Indonesia memang telah merdeka, tapi apakah kita telah merdeka? Orang-orang yang masih merokok adalah orang-orang yang belum merdeka. Buktinya, mereka masih terkekang/terjajah oleh rokok. Mengapa saya katakan mereka terkekang? Itu karena mereka tidak dapat menghentikannya. Mereka telah kecanduan, addicted, yang merupakan bahasa halus dari terkekang/terjajah. Mereka tentu tahu rokok itu merugikan, tapi mereka tidak dapat lepas daripadanya. Mereka masih terjajah di saat bangsanya telah merdeka. Sungguh ironis.
Membayar biaya untuk merusak tubuh
Ini adalah sesuatu yang saya tidak habis pikir. Kalau bos-bos besar menghamburkan uangnya untuk membeli rokok mungkin masih bisa dimaklumi. Mereka kan orang kaya… Tapi kalau supir angkot? Supir bajaj? Kuli bangunan? Orang-orang yang tidak hidup berkecukupan? Bagaimana mungkin ada di antara mereka yang menghamburkan uangnya untuk kesenangan sesaat yang merusakkan tubuh mereka dan berakibat fatal di kemudian hari. Di saat mereka berjuang mencari sesuap nasi, batangan racun tetap saja ada di mulut mereka. Cobalah bayangkan, mereka harus mengeluarkan biaya untuk merusak tubuh mereka, dan nantinya mereka harus mengeluarkan biaya yang lebih besar lagi untuk mengobatinya. Sungguh konyol dan ironis…
Dosa yang tidak disadari
Apakah merokok itu berdosa? Kan di dalam kitab suci tidak ada yang mengatakan, “Dilarang merokok!”. Itulah pembenaran yang seringkali diberikan oleh para perokok. Tetapi sungguhkah merokok itu tidak berdosa? Cobalah renungkan, tubuh kita adalah pemberian Tuhan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Kita harus menjaga kekudusan tubuh kita. Dengan merokok, kita merusak tubuh yang telah Tuhan berikan kepada kita. Itu adalah sebuah perbuatan yang tidak bertanggung jawab. Tidak sedikit mereka yang berdoa untuk kesehatan tetapi malah membuang kesehatan itu dengan merokok. Dan tidak sedikit pula dari mereka yang tidak menyadari bahwa dengan merokok, mereka telah berdosa. Ironis…
Menebar racun pada orang yang disayangi
Tidak jarang saya melihat seorang yang merokok di depan pasangannya, di depan suami/istrinya, di depan anaknya, di depan teman-teman dan sahabat-sahabatnya. Entah mereka memang tidak tahu, atau mereka tidak dapat menahan diri mereka, atau mereka tidak menghargai orang-orang di sekitarnya, apa yang sedang mereka lakukan adalah membunuh orang-orang di sekitar mereka secara perlahan-lahan. Tidak sedikit kasus perokok pasif yang harus menjadi korban pembunuhan para perokok. Suka ataupun tidak suka, jika Anda masih suka merokok di tempat umum, Anda adalah seorang pembunuh.
Merusak lingkungan yang mereka butuhkan
Setiap orang pasti memerlukan lingkungan yang sehat, setidaknya untuk oksigen yang harus mereka hirup untuk bertahan hidup. Sudah banyak orang yang mengatakan peduli pada lingkungan dan mencoba melestarikannya dengan menanam pohon, dsb. Tapi ironisnya, tidak sedikit pula dari mereka yang mengatakan peduli pada lingkungan, yang merusaknya dengan asap rokok yang mereka buang ke udara.
Memberi sumbangan pada perusahaan terkaya
Tahukah Anda kalau tiga dari sepuluh perusahaan terkaya di Indonesia adalah perusahaan rokok? Mereka sudah sedemikian kaya, tapi mereka akan menjadi lebih kaya lagi berkat para perokok yang tidak dapat meninggalkan rokoknya. Tidak peduli kaya atau miskin, mereka tetap menagih “pajak” kepada para perokok dengan “bungkusan rokok”.
Dibenci banyak orang, tetapi harus dikasihani
Menurut saya, seorang perokok patut dikasihani. Mengapa? Saya rasa, ironi-ironi di atas sudah cukup menjelaskan mengapa seorang perokok patut dikasihani. Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Apakah kita harus membenci mereka karena merugikan kita? Tidak! Yang harus kita benci bukanlah orangnya, tapi kebiasaan merokoknya. Terakhir, pesan saya untuk para perokok: “Merokok adalah sebuah pilihan. Anda bisa memilih untuk meneruskan merokok, Anda juga bisa memilih untuk berhenti merokok. Di mana ada kemauan, di sana ada jalan. Jika Anda ada kemauan untuk berhenti merokok dan mau berjuang untuk itu, Anda pasti berhasil. Tetapi, jika Anda memutuskan untuk meneruskan merokok, hargailah sekitar Anda, dan bersiap-siaplah menanggung akibatnya.”
Roma 12:1-2
Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

SUMBER : http://charleschristian.wordpress.com/2008/03/05/budaya-merokok-sebuah-ironi/

Sejarah Kerajaan Sunda (Padjajaran)

Sejarah Kerajaan Sunda 

Kata  Sunda  artinya  Bagus/  Baik/  Putih/  Bersih/  Cemerlang,  segala  sesuatu  yang  mengandung  unsur
kebaikan,  orang  Sunda  diyakini  memiliki  etos/  watak/  karakter Kasundaan  sebagai  jalan  menuju
keutamaan  hidup. Watak  /  karakter  Sunda  yang  dimaksud  adalah  cageur  (sehat), bageur  (baik),  bener
(benar),  singer  (mawas  diri),  dan  pinter  (pandai/  cerdas)  yang  sudah  ada  sejak   jaman  Salaka  Nagara
tahun  150  sampai  ke Sumedang  Larang  Abad  ke-  17, telah membawa kemakmuran  dan  kesejahteraan
lebih dari 1000 tahun. 

Sunda merupakan kebudayaan masyarak at yang tinggal di wilayah barat pulau Jawa dengan berjalannya
waktu  telah  tersebar  ke  berbagai  penjuru  dunia.  Sebagai  suatu  suku,  bangsa  Sunda  merupakan  cikal
bakal berdirinya  peradaban di Nusantara,  di mulai dengan berdirinya  kerajaan tertua  di  Indonesia,  yakni
Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara sampai ke Galuh,  Pakuan Pajajaran, dan  Sumedang Larang.
Kerajaan  Sunda  merupakan  kerajaan  yang  cinta  damai,  selama  pemerintahannya  tidak  melak ukan
ekspansi  untuk  memperluas  wilayah  kekuasaannya.  Keturunan  Kerajaan  Sunda  telah  melahirkan
kerajaan-  k erajaan  besar  di  Nusantara  diantaranya  Kerajaan  Sriwijaya,  Kerajaan  Majapahit,  Kerajaan
Mataram, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banten, dll.


Kronologi Sejarah Kerajaan Sunda

Kerajaan  Sunda  (669-1579  M),  menurut  nask ah  Wangsakerta  merupakan  kerajaan  yang  berdiri
menggantikan kerajaan Tarumanagara.  Kerajaan  Sunda didirikan  oleh Tarusbawa  pada tahun  591  Cak a
Sunda  (669  M).  Menurut  sumber  sejarah primer  yang  berasal  dari  abad  ke-16,  kerajaan  ini  merupakan
suatu  kerajaan  yang  meliputi  wilayah  yang  sekarang  menjadi  Provinsi  Banten,  Jak arta,  Provinsi  Jawa
Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.

Berdasark an  nas kah  kuno  primer  Bujangga  Manik  (yang  menceriterakan  perjalanan  Bujangga  Manik,
seorang  pendeta  Hindu  Sunda  yang  mengunjungi  tempat-tempat suci  agama Hindu  di  Pulau  Jawa  dan
Bali  pada  awal  abad  ke-16),  yang  saat  ini  disimpan  pada  Perpustakaan  Boedlian,  Oxford  University,
Inggris  sejak   tahun  1627),  batas  Kerajaan  Sunda  di  sebelah  timur  adalah  Ci  Pamali  ("Sungai  Pamali",
sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provins i Jawa
Tengah.
 
Tome  Pires  (1513)  dalam  catatan  perjalanannya,  Suma  Oriental  (1513    1515),  menyebutk an  batas
wilayah  Kerajaan  Sunda  di  sebelah  timur  sebagai  berik ut:  “Sementara  orang  menegaskan  bahwa
kerajaan  Sunda meliputi s etengah pulau Jawa.  Sebagian  orang lainnya berkata  bahwa  Kerajaan  Sunda
mencakup  sepertiga  Pulau  Jawa  ditambah  seperdelapannya  lagi.  Katanya,  keliling  Pulau  Sunda  tiga
ratus legoa. Ujungnya adalah Ci Manuk.'



 
Menurut  Naskah  Wangsakerta,  wilayah  Kerajaan  Sunda  mencak up  juga  daerah  yang  saat  ini  menjadi
Prov insi  Lampung  melalui  pernik ahan  antara  keluarga  Kerajaan  Sunda  dan  Lampung.  Lampung
dipis ahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda. 
 
Hubungan Kerajaan Sunda dengan Eropa
Kerajaan Sunda  sudah lama menjalin  hubungan  dagang dengan bangsa Eropa s eperti Inggris, Perancis
dan Portugis. Kerajaan  Sunda malah  pernah  menjalin  hubungan  politik  dengan  bangsa  Portugis.  Dalam
tahun  1522,  Kerajaan  Sunda  menandatangani  Perjanjian  Sunda-Portugis  yang  membolehk an  orang
Portugis  membangun  benteng  dan  gudang  di  pelabuhan  Sunda  Kelapa.  Sebagai  imbalannya,  Portugis
diharuskan  memberi  bantuan  militer  kepada  Kerajaan  Sunda  dalam  menghadapi  serangan  dari  Demak
dan Cirebon (yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).
 
Sejarah
Sebelum  berdiri  sebagai  kerajaan  yang  mandiri,  Sunda  merupakan  bagian  dari  Tarumanagara.  Raja
Tarumanagara  yang  terakhir,  Sri  Maharaja  Linggawarman  Atmahariwangsa  Panunggalan  Tirthabumi
(memerintah  hanya  selama  tiga  tahun,  666-669  M),  menikah  dengan  Déwi  Ganggas ari  dari
Indraprahasta.  Dari  Ganggasari,  beliau  memiliki  dua  anak,  yang  keduanya  perempuan.  Déwi  Manasih,
putri  sulungnya,  menikah  dengan  Tarusbawa  dari  Sunda,  sedangkan  yang  kedua,  Sobakancana,
menikah  dengan  Dapuntahyang Sri Janayasa,  yang  selanjutnya  mendirik an k erajaan  Sriwijaya.  Setelah
Linggawarman  meninggal,  k ekuasaan  Tarumanagara  turun  k epada  menantunya,  Tarusbawa.  Hal  ini
menyebabkan  penguasa  Galuh,  Wretikandayun  (612-702)  memberontak,  melepaskan  diri  dari
Tarumanagara,  serta mendirikan  Galuh  yang  mandiri. dari pihak Tarumanagara s endiri, Tarusbawa juga
menginginkan  melanjutkan  kerajaan  Tarumanagara.  Tarusbawa  selanjutnya  memindahkan
kekuasaannya  ke  Sunda,  di  hulu  sungai  Cipakancilan  dimana  di  daerah  tersebut  sungai  Ciliwung  dan
sungai  Cisadane  berdekatan  dan  berjajar.  Kurang  lebih  adalah  Kotamadya  Bogor  saat  ini.  Sedangkan
Tarumanagara  diubah  menjadi  bawahannya.  Beliau  dinobatkan  sebagai  raja  Sunda  pada  hari  Radite
Pon,  9  Suklapaksa,  bulan  Yista,  tahun  519  Saka  (kira-kira  18  Mei  669  M).  Sunda  dan  Galuh  ini
berbatasan,  dengan  batas  kerajaanya  yaitu  sungai  Citarum  (Sunda  di  sebelah  barat,  Galuh  di  sebelah
timur).
 
Kerajaan kembar
Putera  Tarusbawa  yang  terbesar,  Rarkyan  Sundas ambawa,  wafat  saat  masih  muda,  meninggalkan
seorang anak perempuan, Nay Sek arkancana. Cuc u Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya
dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.
 
Ibu dari Sanjaya  adalah  SANAHA,  cucu Ratu Shima  dari  Kalingga,  di Jepara.  Ayah dari Sanjaya adalah
Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa.
Sena  adalah c ucu Wretikandayun  dari  putera  bungsunya, Mandiminyak,  raja  Galuh  kedua  (702-709  M).
Sena  di  tahun  716  M  dik udeta  dari  tahta  Galuh  oleh  PURBASORA.  Purbasora  dan  Sena  sebenarnya
adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah.
 
Sena  dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat  Kerajaan Sunda, dan  meminta pertolongan
pada  Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun,  kakek Sena,  sebelumnya menuntut Tarusbawa
untuk  memisahkan  Kerajaan  Galuh  dari  Tarumanegara  /  Kerajaan  Sunda.  Dikemudian  hari,  Sanjaya
yang  merupakan  penerus  Kerajaan  Galuh  yang  sah,  menyerang  Galuh,  dengan  bantuan  Tarusbawa,
untuk melengserkan Purbasora.
 
Saat  Tarusbawa  meninggal  (tahun  723),  kekuasaan  Sunda  dan  Galuh  berada  di  tangan  Sanjaya.  Di
tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali.
Tahun  732  Sanjaya  menyerahkan  kekuasaan  Sunda-Galuh  ke  puteranya,  Tamperan  /  Rarkyan
Panaraban.  Di  Kalingga,  Sanjaya  memegang  kekuasaan  selama  22  tahun  (732-754),  yang  kemudian
diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rarkyan Panangkaran / Rakai Panangkaran.
 
Rahyang Tamperan / RARKYAN PANARABAN berk uasa  di  Sunda-Galuh selama  tujuh tahun  (732-739),



lalu  membagi  kek uasaan  pada  dua  puteranya:  Sang  Manarah  (dalam  carita  rakyat  disebut  Ciung
Wanara) di Galuh serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.
 
Sang  Banga  (Prabhu  Kertabhuwana  Yasawiguna  Hajimulya)  menjadi  raja  selama  27  tahun  (739-766),
tapi  hanya  menguasai  Sunda  dari  tahun  759.  Dari  Déwi  Kancanasari,  keturunan  Demunawan  dari
Saunggalah,  Sang  Banga  mempunyai  putera,  bernama  Rark yan  Medang,  yang  k emudian  meneruskan
kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Huluk ujang.
 
Karena  anaknya  perempuan,  Rakryan Medang mewariskan  kek uasaanya kepada menantunya,  Rakryan
Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari  Galuh, putera Sang Mansiri), yang  menguasai Sunda  selama
12 tahun (783-795).
 
Karena Rakryan  Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas
jatuh  ke  menantunya,  Rakryan  Diwus  (dengan  gelar  Prabu  Pucukbhumi  Dharmeswara)  yang  berkuasa
selama 24 tahun (795-819).
 
Dari  Rakryan  Diwus,  kekuasaan  Sunda  jatuh  k e  puteranya,  Rakryan  Wuwus,  yang  menikah  dengan
putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara
iparnya,  Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia.  Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh
RAKRYAN WUWUS (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
 
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan.
Hanya  saja,  karena  tidak  disukai  oleh  para  pembesar  dari  Sunda,  ia  dibunuh  tahun  895,  sedangkan
kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti.
 
Kekuasaan  ini  lantas  diturunkan  pada  putera  sulungnya,  Rakryan  Kamuninggading  (913).  RAKRYAN
KAMUNINGGADING  menguasai  Sunda-Galuh  hanya  tiga  tahun,  sebab  kemudian  direbut  oleh  adiknya,
Rakryan Jayagiri (916).
 
RAKRYAN  JAYAGIRI  berkuasa  selama  28  tahun,  kemudian  diwariskan  k epada  menantunya,  Rakryan
Watuagung, tahun 942.
 
Melanjutkan  dendam  orangtuanya,  Rakryan  Watuagung  direbut  k ekuasaannya  oleh  keponakannya
(putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
 
Dari  Limburkancana,  kekuasaan  Sunda-Galuh  diwarisk an  oleh  putera  sulungnya,  Rak ryan
Sundasambawa  (964-973).  Karena  tidak  mempunyai  putera  dari  Sundasambawa,  kek uasaan  tersebut
jatuh k e adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989).
 
Rakryan  Jayagiri  mewarisk an  kekuasaannya  k a  puteranya,  Rak ryan  Gendang  (989-1012),  dilanjutkan
oleh  cucunya,  Prabhu  Déwasanghyang  (1012-1019).  Dari  Déwasanghyang,  kekuasaan  diwariskan
kepada  puteranya,  lalu  ke  cucunya  yang  membuat  prasas ti  Cibadak,  Sri  Jayabhupati  (1030-1042).  Sri
Jayabhupati  adalah menantu  dari Dharmawangsa Teguh dari  Jawa  Timur,  mertua  raja  Erlangga  (1019-
1042).
 
Dari  Sri  Jayabhupati,  kekuasaan  diwariskan  kepada  putranya,  Dharmaraja  (1042-1064),  lalu  ke  cucu
menantunya,  Prabhu  Langlangbhumi  ((1064-1154).  Prabu  Langlangbhumi  dilanjutkan  oleh  putranya,
Rakryan  Jayagiri  (1154-1156),  lantas  oleh  cucunya,  Prabhu  Dharmakusuma  (1156-1175).  Dari  Prabu
Dharmakusuma, k ekuasaan Sunda-Galuh diwariskan k epada putranya, Prabhu  Guru Dharmasiksa, yang
memerintah  selama  122  tahun  (1175-1297).  Dharmasiksa  memimpin  Sunda-Galuh  dari  Saunggalah
selama  12  tahun,  tapi  kemudian  memindahkan  pusat  pemerintahan  kepada  Pakuan  Pajajaran, k embali
lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
 
Sepeninggal  Dharmasiksa,  kekuasaan  Sunda-Galuh  turun  ke  putranya  yang  terbesar,  Rakryan
Saunggalah  (Prabhu  Ragasuci),  yang  berkuasa  selama  enam  tahun  (1297-1303).  Prabhu  Ragasuci



kemudian  diganti oleh  putranya, Prabhu Citraganda,  yang berkuasa selama delapan  tahun(1303-1311),
kemudian  oleh  keturunannya  lagi,  Prabu  Linggadéwata  (1311-1333).  Karena  hanya  mempunyai  anak
perempuan,  Linggadéwata  menurunkan  k ekuasaannya  ke  menantunya,  Prabu  Ajiguna  Linggawisésa
(1333-1340),  kemudian  ke  Prabu  Ragamulya  Luhurprabawa  (1340-1350).  Dari  Prabu  Ragamulya,
kekuasaan  diwariskan  ke  putranya,  Prabu  Maharaja  Linggabuanawisésa  (1350-1357),  yang  di  ujung
kekuasaannya  gugur  di  Bubat  (baca  Perang  Bubat).  Karena  saat  kejadian  di  Bubat,  putranya  --
Nisk alawas tukancana  --  masih  kecil,  kekuasaan  Sunda  sementara  dipegang  oleh  Patih  Mangkubumi
Sang Prabu Bunis ora (1357-1371).
 
Pras asti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.
Sapeninggal  Prabu Bunisora, k ekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang
kemudian  memimpin  selama  104  tahun  (1371-1475).  Dari  isteri  pertama,  Nay  Ratna  Sarkati,  ia
mempunyai putera  Sang  Haliwungan  (Prabu Susuktunggal),  yang diberi  kek uasaan  bawahan  di  daerah
sebelah barat  Citarum (daerah asal  Sunda). Prabu  Susuk tunggal  yang  berkuasa dari  Pakuan  Pajajaran,
membangun  pusat  pemerintahan  ini  dengan  mendirikan  keraton  Sri  Bima  Punta  Narayana  Madura
Suradipati.  Pemerintahannya  terbilang  lama  (1382-1482),  sebab  sudah  dimulai  saat  ayahnya  masih
berk uasa di daerah timur.
 
Dari  Nay  Ratna  Mayangsari,  istrinya  yang  kedua,  ia  mempunyai  putera  Ningratkancana  (Prabu
Déwaniskala), yang meneruskan kek uasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).
 
Susuktunggal  dan  Ningratk ancana  menyatuk an  ahli  warisnya  dengan  menikahkan  Jayadéwata  (putra
Ningratkancana)  dengan  Ambetkasih  (putra  Susuktunggal).  Tahun  1482,  kekuasaan  Sunda  dan  Galuh
disatukan  lagi  oleh  Jayadéwata  (yang  bergelar  Sri  Baduga  Maharaja).  Sapeninggal  Jayadéwata,
kekuasaan  Sunda-Galuh  turun  ke  putranya,  Prabu  Surawisésa  (1521-1535),  kemudian  Prabu
Déwatabuanawisésa  (1535-1543), Prabu  Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra  (1551-1567), serta Prabu
Ragamulya  atau  Prabu  Suryak ancana  (1567-1579).  Prabu  Suryakancana  ini  merupakan  pemimpin
kerajaan  Sunda-Galuh  yang terak hir,  sebab setelah beberapa  kali diserang oleh pasukan Maulana  Yusuf
dari Kesultanan  Banten, k erajaan  Sunda lainnya,  di  tahun  1579,  yang mengalibatk an kekuasaan Prabu
Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.
Sebelum  Kerajaan  Pajajaran  runtuh  Prabu  Surya  Kancana  memerintahkan  ke  empat  patihnya  untuk
membawa  mahkota  kerajaan  beserta  anggota  kerajaan  ke  Sumedang  Larang  yang  sama-  sama
merupakan keturunan Kerajaan Sunda untuk meneruskan pemerintahan. 
Kerajaan  Sumedang  Larang  berasal  dari  pecahan  k erajaan  Sunda-Galuh  yang  beragama  Hindu,  yang
didirikan  oleh  Prabu  Geusan  Ulun  Aji  Putih  atas  perintah  Prabu  Suryadewata  sebelum  Keraton  Galuh
dipindahkan  ke  Pajajaran,  Bogor.  Seiring  dengan  perubahan  zaman  dan  k epemimpinan,  nama
Sumedang  mengalami  beberapa  perubahan.  Yang  pertama  yaitu  Kerajaan  Tembong  Agung  yang
berlokasi  di  Desa  Cipaku  Kecamatan  Darmaraja (Tembong  artinya  nampak  dan  Agung  artinya  luhur,
memperlihatkan  ke Agungan  Yang  Maha  Kuasa)  dipimpin  oleh Prabu  Guru  Aji  Putih pada abad k e  XII.
Prabu  Guru  Aji  Putih  memiliki  putra  yang  bernama  Prabu  Tajimalela  dan  kemudian  pada  masa  zaman
Prabu Tajimalela, diganti menjadi  Himbar Buana, yang berarti  menerangi alam, Prabu Tajimalela  pernah
berk ata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Ak u dilahirkan; Ak u menerangi. Kata Sumedang diambil
dari k ata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi
Sumedang.  Ada  juga  yang  berpendapat  berasal  dari  kata  Insun  Medal  yang  berubah  pengucapannya
menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
 
 
Pemerintahan berdaulat
 
Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu Agung  Resi  Cakrabuana  atau  lebih  dikenal  Prabu  Tajimalela  dianggap  sebagai  pokok  berdirinya
Kerajaan  Sumedang.  Pada  awal  berdiri  bernama  Kerajaan  Tembong  Agung  dengan  ibukota  di
Leuwihideung  (sekarang  Kecamatan  Darmaraja).  Beliau  punya  tiga  putra  yaitu  Prabu  Lembu  Agung,
Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
 



Berdasark an  Layang  Darmaraja,  Prabu  Tajimalela  memberi  perintah  kepada  kedua  putranya  (Prabu
Lembu Agung dan  Prabu  Gajah Agung),  yang  satu menjadi  raja  dan yang lain menjadi  wakilnya  (patih).
Tapi  keduanya  tidak  bersedia  menjadi  raja.  Oleh  karena  itu,  Prabu  Tajimalela  memberi  ujian  kepada
kedua  putranya  jika  kalah  harus  menjadi  raja.  Kedua  putranya diperintahk an pergi  ke  Gunung  Nurmala
(sekarang  Gunung  Sangkanjaya).  Keduanya  diberi  perintah harus  menjaga  sebilah  pedang  dan k elapa
muda  (duwegan/degan).  Tetapi,  Prabu  Gajah  Agung  karena  sangat  kehausan  beliau  membelah  dan
meminum  air  kelapa  muda  tersebut  sehingga  beliau  dinyatakan  kalah dan  harus  menjadi  raja  Kerajaan
Sumedang  Larang  tetapi  wilayah  ibu k ota  harus  mencari  sendiri.  Sedangkan  Prabu  Lembu Agung  tetap
di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk  s ekedar
memenuhi  was iat  Prabu  Tajimalela.  Setelah  itu  Kerajaan  Sumedang  Larang  diserahkan  k epada  Prabu
Gajah Agung  dan  Prabu Lembu Agung  menjadi resi.  Prabu  Lembu Agung  dan  pera  keturunannya  tetap
berada  di  Darmaraja.  Sedangkan  Sunan  Geusan  Ulun  dan  k eturunannya  tersebar  di  Limbangan,
Karawang, dan Brebes.
 
Setelah  Prabu  Gajah  Agung  menjadi  raja  maka  kerajaan  dipindahkan  ke  Ciguling.  Ia  dimak amk an  di
Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah
dengan  Prabu  Siliwangi  dan  mengik uti  suaminya  pindah  ke  Pakuan  Pajajaran.  Kedua  Sunan  Guling,
yang  melanjutkan  menjadi  raja  di  Kerajaan  Sumedang  Larang.  Setelah  Sunan  Guling  meninggal
kemudian  dilanjutkan  oleh  putra  tunggalnya  yaitu  Sunan  Tuakan.  Setelah  itu  kerajaan  dipimpin  oleh
putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuak an.  Nyi Mas  Ratu Patuakan mempunyai suami  yaitu  Sunan Corenda,
putra  Sunan  Parung,  cucu  Prabu  Siliwangi  (Prabu  Ratu  Dewata).  Nyi  Mas  Ratu  Patuakan  mempunyai
seorang  putri  bernama  Nyi  Mas  Ratu  Inten  Dewata  (1530-1578),  yang  setelah  ia  meninggal
menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
 
Ratu  Pucuk  Umun  menikah  dengan  Pangeran  Kusumahdinata,  putra  Pangeran  Pamalekaran  (Dipati
Teterung),  putra  Aria  Damar  Sultan  Palembang  k eturunan  Majapahit.  Ibunya  Ratu  Martasari/Nyi  Mas
Ranggawulung,  keturunan  Sunan  Gunung  Jati  dari  Cirebon.  Pangeran  Kusumahdinata  lebih  dikenal
dengan  julukan Pangeran  Santri karena asalnya yang  dari  pesantren  dan  perilakunya yang sangat  alim.
Dengan  pernikahan  tersebut  berakhirlah masa  kerajaan  Hindu  di  Sumedang  Larang.  Sejak  itulah  mulai
menyebarnya agama Is lam di wilayah Sumedang Larang.
 
Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada  pertengahan  abad  ke-16,  mulailah  corak  agama  Islam  mewarnai  perkembangan  Sumedang
Larang.  Ratu  Pucuk  Umun,  seorang  wanita  keturunan  raja-raja  Sumedang  kuno  yang  merupakan
seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang
dan memerintah Sumedang Larang  bersama-sama  serta menyebarkan  ajaran  Islam di wilayah tersebut.
Pangeran  Santri  adalah  cucu  dari  Syekh  Maulana  Abdurahman  (Sunan  Panjunan)  dan  cicit  dari  Syekh
Datuk  Kahfi,  seorang  ulama  keturunan  Arab  Hadramaut  yang  berasal  dari  Mekkah  dan  menyebarkan
agama  Islam  di  berbagai  penjuru  daerah  di  kerajaan  Sunda.  Pernikahan  Pangeran  Santri  dan  Ratu
Pucuk  Umun  ini  melahirkan  Prabu  Geusan  Ulun  atau  dikenal  dengan  Prabu  Angkawijaya.  Pada  masa
Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
 
Prabu Geusan Ulun
Prabu  Geusan  Ulun  (1580-1608  M)  dinobatkan  untuk  menggantikan  kekuas aan  ayahnya,  Pangeran
Santri.  Beliau  menetapkan  Kutamaya  sebagai  ibukota  kerajaan  Sumedang  Larang,  yang  letaknya  di
bagian  Barat  kota.  Wilayah  kekuasaannya  meliputi  Kuningan,  Bandung,  Garut,  Tasik,  Sukabumi
(Priangan)  kecuali  Galuh  (Ciamis).  Kerajaan  Sumedang  pada  masa  Prabu  Geusan  Ulun  mengalami
kemajuan  yang  pesat  di  bidang  s osial,  budaya,  agama,  militer  dan  politik  pemerintahan.  Setelah  wafat
pada  tahun  1608,  putera  angkatnya,  Pangeran  Rangga  Gempol  Kusumadinata  atau  Rangga Gempol I,
yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantik an k epemimpinannya.
 
Pada  masa  awal  pemerintahan  Prabu  Geusan  Ulun,  Kerajaan  Pajajaran  Galuh  Pakuan  sedang  dalam
masa k ehancurannya karena  diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam
rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu  Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-
saat  kekalahan  Kerajaan  Pajajaran,  Prabu  Siliwangi  sebelum  meninggalkan  Keraton  beliau  mengutus
empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat
Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut
menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta
perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di
Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang
yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan,
Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi
mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun,
maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang
Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai
Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah
utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa
terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu
Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang
ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada
masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada
Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan
Kesultanan Mataram. Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena
selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).
Raja-raja Kerajaan Sunda dari Salaka Nagara s/d Sumedang Larang
Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran
Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
Periode Salaka Nagara dan Taruma Nagara (Dewawarman - Linggawarman, 150 - 669).
0. Dewawarman I - VIII, 150 - 362
1. Jayasingawarman, 358-382
2. Dharmayawarman, 382-395
3. Purnawarman, 395-434
4. Wisnuwarman, 434-455
5. Indrawarman, 455-515
6. Candrawarman, 515-535
7. Suryawarman, 535-561
8. Kertawarman, 561-628
9. Sudhawarman, 628-639
10. Hariwangsawarman, 639-640
11. Nagajayawarman, 640-666
12. Linggawarman, 666-669
Periode Kerajaan Galuh - Pakuan - Pajajaran - Sumedang Larang
1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
4. Rakeyan Banga (739 - 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
Dokumentasi Yayasan Pitra Yadnya – Januari 2011
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
15. Munding Ganawirya (964 - 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
17. Brajawisésa (989 - 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Prabu Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
41. Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M)
Sumber :
· Herwig Zahorka, The Sunda Kingdoms of West Java, From Taruma Nagara to Pakuan Pajajaran
with Royal Center of Bogor, tahun 2007.
· Saleh Danasasmita, Sajarah Bogor, Tahun 2000
· Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia
Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.
· Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi.
Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
· Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-
419-329-1
· Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.

Sumber : http://pitrayadnya.web.id/admin/filsafat/Sejarah%20Kerajaan%20Sunda.pdf