Suku Osing
Suku Using
|
Jumlah
populasi
|
Tidak
Diketahui
|
Kawasan dengan jumlah penduduk yang
signifikan
|
Bahasa
|
Agama
|
Kelompok etnis terdekat
|
Suku Using adalah penduduk asli Banyuwangi dan
merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi.
Sejarah /Cikal bakal wong osing
Sejarah Suku Using diawali pada akhir masa
kekuasaan Majapahit sekitar
tahun 1478 M. Perang saudara dan Pertumbuhan kerajaan-kerajaan islam terutama
Kesultanan Malaka mempercepat jatuhnya Majapahit. Setelah kejatuhannya,
orang-orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger), Blambangan (Suku
Using) dan Bali. Kedekatan sejarah ini terlihat dari corak
kehidupan Suku Using yang masih menyiratkan budaya Majapahit. Kerajaan
Blambangan, yang didirikan oleh masyarakat osing, adalah kerajaan terakhir yang
bercorak Hindu-Budha seperti halnya kerajaan Majapahit. Bahkan Mereka sangat
percaya bahwa Taman Nasional Alas
Purwo merupakan
tempat pemberhentian terakhir rakyat Majapahit yang menghindar dari serbuan
kerajaan Mataram.
Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak
pernah menancapkan kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan
kebudayaan masyarakat Using mempunyai perbedaan yang cukup signifikan
dibandingkan dengan Suku Jawa. Suku
Using mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, hal ini
sangat terluhat dari kesenian tradisional Gandrung yang mempunyai kemiripan dengan tari-tari
tradisional bali lainnya, termasuk juga busana tari dan instrumen musiknya.
Kemiripan lain tercermin dari arsitektur bangunan antar Suku Using dan Suku
Bali yang mempunyai banyak persamaan, terutama pada hiasan di bagian atap
bangunan.Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha
terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat.
Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada
tahun 1771 M. SEJARAH PERANG BAYU ini jarang di ekspos oleh media sehingga sejarah ini seperti
tenggelam.
Dalam perkembangan berikutnya, setelah para
petinggi Majapahit berhasil hijrah ke Bali dan membangun kerajaan di sana,
Blambangan, secara politik dan kultural, menjadi bagian dari Bali atau, seperti
yang diistilahkan oleh beberapa sejarawan, “di bawah perlindungan Bali”.
Tetapi, pada tahun 1639, kerajaan Mataram di Jawa Tengah menaklukkan Blambangan
yang meskipun mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Bali menelan banyak
korban jiwa; rakyat Blambangan tidak sedikit yang terbunuh dan dibuang (G.D.E.
Haal, seperti yang dikutip Anderson, 1982; 75). Di dalam kekuasaan Mataram
inilah penduduk Blambangan mulai diislamisasi, suatu perkembangan kultural yang
banyak pengaruhnya di kemudian hari dalam membentuk struktur sosial dan
kebudayaan. Perebutan Blambangan oleh Mataram dan Bali terus berlangsung dan
saling bergantian menguasai hingga berakhir ketika VOC berhasil menduduki
Blambangan pada tahun 1765.
Blambangan tampak relatif kurang memperlihatkan
kekuatannya, di masa penjajahan Belanda, ia justru menampilkan kegigihannya
melawan dominasi VOC. Perang demi perang terjadi antara rakyat Blambangan
melawan kolonial Belanda. Hingga akhirnya memuncak pada perang besar pada tahun
1771-1772 di bawah pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati yang dikenal
dengan perang Puputan Bayu. Perang ini telah berhasil memporak-porandakan
rakyat Blambangan dan hanya menyisakan sekitar 8.000 orang (Ali, 1993:20).
Meski demikian, tampaknya rakyat Blambangan tetap pantang menyerah.
Perang-perang perlawanan, meski lebih kecil, terus terjadi sampai berpuluh
tahun kemudian (1810) yang dipimpin oleh pasukan Bayu yang tersisa, yaitu
orang-orang yang oleh Belanda dijuluki sebagai ‘orang-orang Bayu yang liar’
(Lekkerker, 1926:401-402; Ali, 1997:9). Setelah dapat menghancurkan benteng
Bayu, Belanda memusatkan pemerintahannya di Banyuwangi dan mengangkat Mas Alit
sebagai bupati pertama Banyuwangi.
Blambangan memang tidak pernah lepas dari
pendudukan dan penjajahan pihak luar, dan pada tahun 1765 tidak kurang dari
60.000 pejuang Blambangan terbunuh atau hilang untuk mempertahankan wilayahnya
(Epp, 1849:247). Anderson (1982:75-76) melukiskan bahwa betapa kekejaman
Belanda tak bertara sewaktu menguasai Blambangan terutama dalam tahun
1767-1781. Dengan merujuk catatan Bosch yang ditulis dari Bondowoso, Anderson
mengatakan: “daerah inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang suatu
ketika pernah berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali…”.
Pendudukan dan penaklukan yang bertubi-tubi itu
ternyata justru membuat rakyat Blambangan semakin patriotik dan mempunyai
semangat resistensi yang sangat kuat. Cortesao, seperti yang dikutip oleh
Herusantosa (1987:13), dengan merujuk pada Tome Pires, menyebut “rakyat
Blambangan sebagai rakyat yang mempunyai sifat “warlike”, suka berperang dan
selalu siap tempur, selalu ingin dan berusaha membebaskan wilayahnya dari
kekuasaan pihak lain”. Scholte (1927:146) menyatakan:
“Sejarah Blambangan sangat menyedihkan. Suku bangsa
Blambangan terus berkurang karena terbunuh oleh kekuatan-kekuatan yang
berturut-turut melanda daerah tersebut, seperti kekuatan Mataram, Bali, Bugis
dan Makassar, para perampok Cina, dan akhirnya VOC. Tetapi semangat rakyat
Blambangan tidak pernah sama sekali padam, dan keturunannya yang ada sekarang
merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya dan kepribadian serta berkembang
dengan pesat, berpegang teguh pada adat-istiadat, tetapi juga mudah menerima
peradaban baru”. Rakyat Blambangan, seperti yang disebut-sebut dalam berbagai
sumber di atas, itulah yang selama ini dinyatakan sebagai cikal-bakal wong
Using.
Bahasa
Suku Using mempunyai Bahasa Using yang merupakan turunan langsung dari Bahasa
Jawa Kuno seperti halnya Bahasa Bali. Bahasa
Using berbeda dengan Bahasa Jawa sehingga
bahasa Using bukan merupakan dialek dari bahasa Jawa seperti anggapan beberapa
kalangan kamus boso using
Kepercayaan
Pada awal terbentuknya masyarakat Using kepercayaan
utama suku Using adalah Hindu-Budha seperti halnya Majapahit. Namun
berkembangnya kerajaan Islam di panturamenyebabkan
agama Islam dengan cepat menyebar di kalangan suku Using. Berkembangnya Islam
dan masuknya pengaruh luar lain di dalam masyarakat Using juga dipengaruhi oleh
usaha VOC dalam menguasai daerah Blambangan. Masyarakat
Using mempunyai tradisi puputan, seperti
halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan
sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih
besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M.
Demografi
Suku Using menempati beberapa kecamatan di
kabupaten Banyuwangi bagian
tengah dan bagian utara, terutama di Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan
Rogojampi,kecamatan singonjuruh,temuguruh Kecamatan Glagah dan Kecamatan
Singojuruh, Kecamatan Giri, Kecamatan Kalipuro, dan Kecamatan Songgon.
Komunitas Using atau lebih dikenal sebagai wong Using oleh beberapa kalangan
dan hasil penelitian1 dianggap sebagai penduduk asli2 Banyuwangi, sebuah
wilayah di ujung paling timur pulau Jawa yang juga dikenal sebagai Blambangan.
Komunitas ini menyebar di desa-desa pertanian subur di bagian tengah dan timur
Banyuwangi yang secara administratif merupakan kecamatan-kematan Giri, Kabat,
Glagah, Rogojampi, Singojuruh, Songgon, Cluring, Banyuwangi Kota, Genteng, dan
Srono. Di tiga kecamatan terakhir, mereka telah bercampur dengan penduduk
non-Using, migran berasal dari bagian barat Jawa Timur dan Jawa Tengah,
termasuk Yogyakarta (wong Using menyebutnya wong Jawa-Kulon).
Profesi
Profesi utama Suku Using adalah petani, dengan
sebagian kecil lainya adalah pedagang dan pegawai di bidang formal seperti
karyawan, guru dan pegawai pemda.
Stratifikasi Sosial
Suku Using berbeda dengan Suku Bali dalam
hal stratifikasi sosial. Suku Using tidak mengenal kasta seperti halnya Suku
Bali, hal ini banyak dipengaruhi oleh agama Islam yang dianut oleh sebagian
besar penduduknya. tetapi telah ditemukan perbedaan stratifikasi di Suku
tersebut, kaum Drakula, kaum sudrakula, kaum hydrakula, kaum coliba. mereka merupakan
penduduk asli.
Seni
Kesenian Suku Using sangat unik dan banyak
mengandung unsur mistik seperti kerabatnya suku bali dan suku
tengger. Kesenian utamanya antara lain Gandrung, Patrol, Seblang, Angklung, Tari Barong,Kuntulan,kendang kempul,janger,jaranan, jaran
kincak,angklung caruk, dan Jedor.
Desa Adat Kemiren
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyadari potensi
budaya suku Using yang cukup besar dengan menetapkan desa kemiren di kecamatan
Glagah sebagai desa adat yang harus tetap mempertahankan nilai-nilai budaya
Suku Using. Desa kemiren merupakan tujuan wisata yang cukup diminati di
kalangan masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Festival budaya dan acara
kesenian tahunan lainnya sering diadakan di desa ini.
Sumber : Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar